PERTARUNGAN PAHAM LAICITE (SEKULARISME) TERHADAP AGAMA DALAM PEMERINTAHAN MODERN PERANCIS



Source: Financial Times "Revolutionary Ideas, by J. Israel"

Abstrak

Perancis merupakan negara yang dikenal memiliki tatanan pemerintahan negara yang modern dan demokratis dalam menganut sistem pemerintahan semi-presidensial dan menganut sistem multipartai yang berkontribusi aktif. Pemerintah Perancis menganut paham Laicite atau yang disebut dengan sekularisme sebagai batas dari adanya intervensi terkait agama dalam tatanan sistem pemerintahan negara. Dengan menganut paham Laicite, Pemerintah Perancis turut melahirkan sebuah slogan sebagai bentuk identitas nasional, yakni Liberte (Kebebasan), Egalite (Kesetaraan), Fraternite (Persaudaraan) yang digunakan sebagai landasan dasar dari kehidupan Pemerintah Perancis hingga saat ini. Penerapan dari paham Laicite tidak terlepas dari adanya faktor pengaruh historis melalui peristiwa Revolusi Perancis tahun 1789 yang pada saat itu kelompok revolusi politik menuntut agar segera memisahkan keterlibatan kelompok gereja katolik dalam persoalan politik sehingga sering menimbulkan konflik. Selain itu, turut disebabkan pada saat Pemerintah Perancis mengalami kekurangan kapasitas tenaga kerja pasca Perang Dunia II sehingga mendatangkan sejumlah tenaga kerja imigran yang menyebabkan adanya konflik dalam pertukaran keanekaragaman asimilasi kebudayaan melalui proses multikulturalisme. Untuk itu, peristiwa Revolusi Perancis 1789 dan konflik multikulturalisme mendorong perubahan pakta hukum dan konstitusi negara Perancis melalui keputusan Partai Politik dalam Parlemen Perancis dengan mengeluarkan Undang-Undang 1905 terkait pemisahan antara agama dan negara guna upaya menetralitas dan melindungi paham Laicite negara Perancis. Seiring penerapan Laicite, turut menciptakan corak demografi negara Perancis dari publik dan cendekiawan yang mendukung Pemerintah Perancis melalui Undang-Undang Anti Jilbab 2004 untuk terus mensukseskan hak perlindungan kebebasan ruang publik dari intervensi agama. Hingga pada akhirnya, paham Laicite menuai kecaman dan konflik dari agama dan negara lain atas sikap Pemerintah Perancis dalam kasus Islamophobia.

Kata Kunci: Sekularisme, Sensitivitas Agama, Negara Perancis

 Pendahuluan

Awal mula kelahiran paham Laicite di Perancis diawali dengan peristiwa Revolusi Perancis 1789 dengan maksud untuk meruntuhkan pemerintahan monarki absolut yang dianggap melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan melalui tindakan korupsi dan perampasan hak properti oleh kalangan kaum aristokrat. Bukan hanya pemerintahan monarki absolut yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan, melainkan kekuataan Gereja Katolik yang berkuasa dominan secara penuh turut mencampuri urusan pemerintahan monarki untuk kepentingan melindungi hak legitimasi pemerintahan monarki dalam melakukan penyelahgunaan kekuasaan dan kewenangan yang dibalut dengan konteks keagamaan. Selain itu, melalui faktor historis tersebut turut menciptakan urgensi pembentukan pakta hukum atas pemisahan antara agama dan negara melalui penerapan paham Laicite. Namun, pakta hukum terkait sekularisme tersebut berakhir dengan mendapatkan pengesahan Rancangan Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait pelarangan penggunaan simbol keagamaan seperti Jilbab, Niqab dan Burqa bagi Islam, dan salib bagi Katolik, serta Kippa bagi Yahudi dalam ruang publik oleh Dewan Konstitusi dan Pengadilan Tinggi Administratif atau Conseil d’Etat.

Melalui faktor pengaruh historis dan konstitusi yang mendorong paham Laicite tumbuh dan berkembang, sehingga mengakibatkan paham Laicite turut memberikan pengaruh terhadap penyusunan strategi parlemen dalam pelaksanaan hak konstitusional dan partai politik dalam agenda kampanye kepada publik. Tetapi melalui strategi yang dilakukan oleh parlemen dan partai politik turut mewarnai corak demografi masyarakat Perancis yang merasakan paham Laicite kian membatasi hak kebebasan dalam memeluk agama dan memicu konflik antara negara dengan masyarakat akibat pihak pemerintah Perancis menyudutkan salah satu pihak terkait kasus sensitivitas agama. Oleh karena itu, tingkat kepercayaan publik terhadap paham Laicite yang memberikan jaminan hak asasi manusia, justru melahirkan malapetaka yang berbalik arah kepada Pemerintah Perancis melalui pertarungan antara negara, agama dan paham Laicite yang mengundang kecaman dari pihak internasional.

Latar Historis Negara Perancis Berpaham Laicite

Lahir dan berkembangnya paham Laicite yang merupakan landasan falsafah negara Perancis,  diawali melalui peristwa pecahnya Revolusi Perancis pada tahun 1789. Pecahnya peristiwa Revolusi Perancis tahun 1789 disebabkan oleh tuntutan dari masyarakat Perancis terhadap pemerintahan monarki Perancis dan Gereja Katolik karena telah melakukan perampasan dan intervensi terhadap hak asasi manusia melalui dominasi kekuatan yang berlegitimasi dan mendapatkan perlindungan dari pihak Gereja Katolik. Sebelum meletusnya peristiwa Revolusi Perancis tahun 1798, relasi kekuasaan antara pemerintah monarki Perancis dan Gereja Katolik sangat menguat karena kedua belah pihak tersebut merupakan aktor negara yang memegang penuh hak legitimasi dan hak prioritas yang tinggi. Tetapi, kedudukan kekuasan pemerintah monarki dan Gereja Katolik, jutsru disalahgunakan demi kepentingan pribadi dan golongan dalam memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan merampas properti nasional untuk kekayaan pribadi dan golongan, seperti perampasan hak tanah dan mendapatkan hak istimewa atas pembebasan pajak upeti.

Tindakan penyalahgunaan kedudukan kekuasaan oleh pemerintahan monarki dan Gereja Katolik menimbulkan gelombang demonstrasi massa akibat masyarakat Perancis mengalami ketimpangan dan kesenjangan sosial sehingga masyarakat Perancis menuntut untuk segera melaksanakan revolusi agar segera melengserkan pemerintahan monarki absolut yang selalu mendapatkan perlindungan legitimasi dari pihak Gereja Katolik. Hingga pada akhirnya, terjadi pecahnya Revolusi Perancis melengserkan pemerintah monarki absolut dengan mengubahnya menjadi sistem pemerintahan demokrasi liberal dan mencetuskan adanya paham Laicite, yakni pemisahan antara ruang publik dengan agama untuk mengindari penyalahgunaan legitimasi dalam tatanan pemerintahan negara dan percampuran intervensi agama. Pasca Revolusi Perancis dan memasuki kemerdekaan Republik Perancis, pada tahun 1790 hingga 1792 pasukan Perancis mengeluarkan kebijakan dan pakta hukum guna mensukseskan paham Laicite untuk kepentingan melindungi hak publik dan mengembalikan sejumlah properti pribadi yang dikuasai oleh pihak monarki dan Gereja Katolik untuk segera dinasionalisasikan, yakni melalui ”Droit de L’homme et du Citoyen” dan ”Civil Constitution of the Clergy” (Doyle 2001; Gunn 2004). Untuk itu, paham Laicite merupakan hasil proses dari konfliktual yang melibatkan antara negara dan kekuasaan Gereja Katolik yang direkonsiliasikan dengan perlahan (Baubérot 2007).

Selain faktor pengaruh dari peristiwa Revolusi Perancis tahun 1789 yang memberikan dampak berupa emansipasi pencerahan melalui pemisahan antara warga negara secara individu dari intervensi keagamaan dan terdapat proses intergrasi warga negara perseorangan untuk berbaur ke dalam komunitas politik (Modood and Kastoryano 2006). Kehadiran dan perkembangan paham Laicite di Perancis juga dipengaruhi oleh faktor multikulturalisme akibat motif perekonomian. Pasca Perang Dunia Kedua, Perancis mengalami kekurangan kapasitas suplai tenaga kerja domestik di tengah perkembangan pesat industrialisasi sehingga Pemerintah Perancis menerapkan kebijakan pintu terbuka terhadap imigrasi (Cesari 2004). Penerapan kebijakan pintu terbuka terhadap imigrasi turut di dominasi oleh kalangan tenaga kerja yang berasal dari warga negara Afrika Utara mayoritas muslim dan sebagian dari warga negara Eropa, serta wilayah negara kawasan Asia Tenggara (Teulières 2007). Melalui kebijakaan pintu terbuka imigrasi menyebabkan munculnya model reunifikasi keluarga, yakni”Regroupement Familial” yang merupakan fenomena sosial terkait gelombang imigrasi secara besar akibat sejumlah imigran mengangkut dan mengajak sejumlah keluarga dan sanak kerabat untuk bertempat tinggal secara permanen di Perancis (Mudzakkir 2013).

Melalui penerapan kebijakan pintu terbuka terhadap imigrasi turut mengundang konflik rasialisme yang menimbulkan konfrontasi antara penduduk asli Perancis dengan sejumlah imigran akibat konflik multikultarisme. Melalui konflik rasialisme yang melibatkan penduduk asli Perancis dengan sejumlah imigran mengundang perhatian dari Presiden Republik Perancis ke-23 yang merupakan anggota perwakilan dari Partai The Republicains, Nicholas Sarkozy. Sarkozy yang pada saat itu turut berpihak terhadap penduduk asli Perancis, yakni menolak adanya pintu terbuka terhadap imigran karena dapat menghambat perkembangan stabilitas kesejahteraan sosial masyarakat Perancis. Untuk itu, Pemerintah Perancis terus menguatkan paham Laicite sebagai landasan falsafah negara sebagai alat pertahanan nasional terhadap segala bentuk intervensi terhadap negara dan menjunjung hak kesetaraan dalam tatanan pemerintahan bernegara, yakni menghapus intervensi agama dalam menghapus ketimpangan terhadap tatanan hierarki pemerintahan negara.

Paham Laicite Dalam Konstitusi Negara Perancis

Pada tahun 1879 melalui keputusan Partai Republik sebagai penguasa Parlemen Perancis mengeluarkan suatu keputusan agar lebih memperkuat paham Laicite secara nasional dan menghapus sisa peninggalan Gereja Katolik. Keputusan yang dikeluarkan dan disahkan tersebut merupakan kebijakan anticlerical yang bertujuan untuk mereformasi regulasi kurikulum pendidikan formal dengan menghapus pembelajaran agama dan mengeluarkan peraturan pelarangan terhadap aktivitas organisasi yang berorientasi keagamaan tertentu (Tarhan 2011; Kuru 2008). Hingga pada tahun 1902 dan 1905, paham Laicite kembali diperkuat dengan disahkan dan dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan Separation Law 1905 yang mengatur tentang pemisahan antara ruang publik (negara) dan agama untuk menghindarkan intervensi nilai-nilai keagamaan dalam hak privatisasi dan asosiasi (Liogier 2009; Jones 2012). Kemudian, pada tahun 1946 dan 1958, Pemerintah Perancis turut mengesahkan prinsip konstitusi dan konstitusional yang tertuang dalam Pasal 1 Konstitusi Perancis 1958 yang berbunyi ”Bahwa Perancis akan menjadi negara yang tidak pernah terpisahkan dari sekuler (Laicite), demokratis, dan republik sosial”, prinsip konstitusional tersebut di dorong oleh kemauan dari Republikan anticlerical militan, yakni Emile Combess dengan menghapus hubungan antara Perancis dan Vatikan dalam menguatkan paham Laicite yang secara eksplisit diatur dalam konstitusi (Baubérot 2007; Popkin 2020).

Hingga pada tahun 1989, Pemerintah Perancis melalui Dewan Konstitusi Perancis dan Pengadilan Tinggi Perancis (Coseil d’Etat) melalui legal opinion dan legal principle untuk memperkuat lebih paham fundamental dari penerapan doktrin Laicite dengan langkah mengeluarkan keputusan atas pelarangan penggunaan Jilbab untuk remaja sekolah. Oleh karena itu, legal opinion dan legal principle tersebut dikenal ”The 1989 legal opinion on anti headscarf” (Jones 2012). Namun, pasca peristiwa Tragedi 9/11 World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat telah memberikan luka traumatis yang mengakibatkan sejumlah negara-negara barat terutama wilayah Eropa segera memperkuat pertahanan dan keamanan nasional dari pengaruh isu-isu keagamaan hingga mengeluarkan sejumlah Undang-Undang (UU) dan legal opinion untuk membatasi pengaruh agama dalam ruang privatisasi dan negara. Pengaruh tersebut turut melanda Perancis pada tahun 2003 melalui pernyataan Presiden Jacques Chirac atas pengeluaran keputusan pelarangan simbol dan pengaruh nilai-nilai keagamaan dalam institusi dan kurikulum pendidikan dan lingkungan publik (Susanto 2014). Pada tahun 2004, Pemerintah Perancis dan Pengadilan Tinggi Administratif Perancis turut mengeluarkan dan menerapkan kembali keputusan atas pelarangan penggunaan Jilbab di lembaga pendidikan formal. Hingga pada akhirnya, pada 13 Juli 2010 Majelis Nasional dan Dewan Konsitusi Perancis menyetujui, mengesahkan, dan memberlakukan Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait pelarangan penggunaan simbol keagamaan seperti Jilbab, Niqab dan Burqa bagi Islam, dan salib bagi Katolik, serta Kippa bagi Yahudi dalam ruang publik yang diatur dalam peraturan hukum konstitusi negara atau undang-undang (Susanto 2014)

Terkait dengan paham Laicite yang dipergunakan sebagai alat dalam mencegah aktivitas jenis pelanggaran yang berbeda, yakni penyimpangan politik dari intervensi kekuatan agama dan pembatasan agama oleh negara dan pembatasasan atas kebebasan hak individu (Asad 2006). Kekuatan paham Laicite turut memperkuat identitas nasional Perancis yang tertuang dalam slogan Liberte (Kebebasan), Egalite (Kesetaraan), Fraternite (Persaudaraan) yang digagas oleh lembaga konstitusi Perancis pada tahun 1848-1958 hingga saat ini sebagai ”Principe de la Republique”. Tetapi secara fenomena realitas, penerapan prinsip republik dilanda dilemma dan merupakan slogan fiktif belaka, bila mengingat Perancis hanya memajukan hak asasi manusia terhadap kesetaraan saja, tidak terhadap hak perlindungan kepada warga negara aktif yang bukan penduduk asli Perancis ataupun hak proteksi sosial imigran (Sénac 2016).

Pengaruh Kekuatan Paham Laicite Dalam Partai Politik Negara Perancis

Melalui program presidential dan legislative elections pada tahun 2017, bahwa terdapat lima partai politik yang unggul, yakni La Republique en Marche beraliran liberalisme, Les Republicains beraliran liberal kosnservatif Gaullism, Front National beraliran nasionalisme sayap kanan populisme, La France Insoumise beraliran demokratik-sosialisme dan eco-sosialisme, Parti Socialisme beraliran sosialis-demokrasi (Ministère de l'Intérieur 2017). Kemudian disusul dengan beberapa partai lainnya seperti Europe Ecologie Les Verts, Mouvement Demcrate, Union de Democrates et Independants, Parti Communiste Francais, Debout la France, Parti Radical de Gauce, Front de Gauche, Alliance Centriste.

Dari pemaparan daftar partai politik yang mengungguli dalam program presidential dan legislative elections pada tahun 2017, bahwa Partai Front National memiliki strategi dalam merekonstruksi asumsi yang keliru terkait konstitusional Perancis yang berlandaskan falsafah Laicite yang dianggap sebagai pembatasan ekspresi religiusitas harus dalam ranah privat. Melalui pelaksanaan program strategi perluasan paham Laicite, Partai Front National membangun upaya dukungan terhadap perluasan kewajiban netralitas agama dalam lingkungan publik, seperti rencana pelarangan simbol-simbol keagamaan yang mencolok dalam fasilitas layanan publik (Almeida 2017). Bahkan, Partai Front National pernah memberi dukungan penuh terhadap undang-undang pelarangan penggunaan simbol keagamaan seperti Jilbab, Niqab dan Burqa bagi Islam, dan salib bagi Katolik, serta Kippa bagi Yahudi dalam ruang publik.

Pengaruh Paham Laicite Dalam Corak Demografi Negara Perancis

Implementasi dari paham Laicite yang tertuang dalam Undang-Undang Tahun 2010 terkait pelarangan penggunaan simbol keagamaan seperti Jilbab, Niqab dan Burqa bagi Islam, dan salib bagi Katolik, serta Kippa bagi Yahudi dalam ruang publik memberikan pengaruh erhadap perkembangan integrasi sosial kemasyarakatan Perancis. Pelaksanaan implementasi dari paham Laicite telah memberikan pengaruh besar secara universal terhadap demografi atas jumlah keseluruhan populasi masyarakat Perancis. Melalui referensi data yang diperoleh melalui Statistics and Market Data on France (France Stastista), bahwa representasi grafis yang menunjukkan perkiraan distribusi jumlah populasi masyarakat kristiani, muslim, Yahudi, Hindu, Buddha, dan tidak berafiliasi dengan agama tertentu dalam tahun 2020. Dalam tabel representasi grafis tersebut turut menunjukan bahwa terdapat 37.940.000 jumlah populasi masyarakat kristiani, dan 20.830.000 jumlah populasi masyarakat tidak berafiliasi agama tertentu, serta 5.430.000 jumlah populasi masyarakat muslim, lalu disusul jumlah populasi masyarakat Yahudi sejumlah 340.000, jumlah populasi masyarakat Hindu sejumlah 40, jumlah populasi masyarakat Buddha sejumlah 310.000, jumlah populasi masyarakat Agama Populer sejumlah 250.000, dan kepercayaan lainnya yang menyentuh angka 110.000. (Statistics and Market Data on France: France Stastista 2020).

Terkait perkiraan distribusi jumlah populasi masyarakat dalam kepemelukan agama, bahwa terlihat jumlah populasi dari umat kristiani yang menduduki peringkat pertama sebagai agama mayoritas dan kemudian disusul oleh jumlah populasi masyarakat tidak berafiliasi agama tertentu yang menduduki peringkat ketiga. Populasi masyarakat tidak berafiliasi agama tertentu atau atheism masih terbilang eksis, bilamana mengingat atheism di Perancis terlahir melalui peristiwa Revolusi Perancis 1789 sebagai utusan agama yang diyakini tidak seburuk agama Kristen-Katolik yang memberikan legitimasi berlebih terhadap pemerintah monarki sehingga menciptakan kasus penyalahgunaan kekuasaan dan mengakibatkan pembatasan hak jaminan kebebasan dan kesetaraan sipil. Lalu disusul oleh agama Islam yang menduduki peringkat ketiga, kedudukan agama Islam yang menduduki peringkat ketiga dikarenakan faktor kehadiran agama Islam akibat Pasca Perang Dunia Kedua melalui kebijakan penerimaan imigran negara lain dan adanya proses reunifikasi keluarga.

Melalui referensi data terkait pendapat masyarakat Perancis tentang tingkat keamanan prinsip Laicite atau sekularisme di Perancis pada Oktober 2020 menunjukan bahwa terdapat sekitar 90% responden menilai bahwa paham Laicite mengalami tingkat keamanan yang rendah. Melalui pemaparan dari tabel statistik berikut dapat dikatakan bahwa paham sekularisme tengah terancam hari ini di Perancis dan paham Laicite dianggap tengah berada dalam situasi tingkat keamanan yang berbahaya akibat rendahnya tingkat kepercayaan dari masyarakat Perancis terhadap paham Laicite, berikut kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Perancis. (Statistics and Marketing Data on French: French Statistia 2020). Oleh karena itu, penerapan paham Laicite yang semula untuk membangun Pemerintah Perancis yang melengserkan pemerintahan yang berkedok keagamaan, maka paham Laicite bertugas untuk menyesuaikan dengan iklim sistem pemerintahan terbaik, yakni demokratis dan menjunjung humanisme, justru paham Laicite menjadi rivalitas mengingat akibat ketimpangan sosial dan rasialisme antara kaum mayoritas dan kaum minoritas, serta tindakan menyudutkan terhadap salah satu satu pihak agama tertentu yang disangkutpautkan terhadap kasus konflik yang menyangkut persoalan keagamaan.

Pertarungan Antara Negara, Agama dan Paham Laicite

Menurut Mahmood dalam bukunya berjudul ”Religious Difference in A Secular Age: A Minority Report”, ia memaparkan bahwa jaminan yang ditawarkan oleh paham sekularisme, yakni perlindungan hak kebebasan dalam beragama dan hak kesetaraan sipil, serta jaminan dalam penyelesaian sengketa konflik yang terjadi antara kaum mayoritas dengan kaum minoritas tidak kunjung tewujud dan tidak menunjukan titik terang atas apa yang diharapkan, melainkan melahirkan adanya ketimpangan kekuatan kuasa antara negara, agama dan hak warga negara, serta konfrontasi antara kaum mayoritas dengan kaum minoritas (2015). Apabila pemaparan argumen Mahmood terkait paham sekularisme dapat menjadi landasan analisis terhadap slogan identitas Perancis, yakni Liberte, Egalite, dan Fraternite yang tercipta dari adanya paham Laicite. Makna dari slogan tersebut hanya memberikan kebebasan dalam berekspresi bukan kebebasan dalam beragama bagi masyarakat Perancis dan tidak memberikan jaminan hak proteksi sosial berupa perlindungan terhadap umat minoritas di Perancis.

Isu-isu yang berkembang terkait sensitivitas agama di Perancis tengah bergejolak, mengingat kasus pembunuhan terhadap guru bernama Samuel Paty oleh seorang remaja bernama Abdoullakh Abouyezidovitc terkait materi pembelajaran kebebasan berpendapat dengan menggunakan ilustrasi karikatur Nabi Muhammad SAW dalam Majalah Charlie Hebdo sebagai obyek dalam proses belajar mengajar di kelasnya (Pradiba 2020). Kasus pembunuhan yang dialami oleh Samuel Paty mendapatkan sorotan dari Presiden Emmanuel Macron yang menganggap bahwa ia berkomitmen kuat untuk mengawal paham Laicite dengan melakukan pengawalan dan pengawasan ketat terhadap beberapa fasilitas layanan keagamaan, seperti tempat ibadah dan sekolah agama sebagai pencegahan upaya strategi Islam Radikal yang dirodai dengan rasa kebencian terhadap kebebasan berpendapat dan menghambat stabilitas keamanan nasional. Pernyataan Emmanuel Macron menimbulkan kontra dari beberapa pihak yang menganggap pernyataannya menyudutkan dan menggeralisir Islam sebagai agama radikal, sehingga memicu pertanda munculnya sikap Islamophobia dari pihak Pemerintah Perancis (Pradiba 2020). Tetapi Pemerintah Perancis menganggap perlu adanya peningkatan paham Laicite dengan program regulasi pencegahan separatisme guna memproteksi perlindungan terhadap tempat ibadah dan proteksi terhadap kebebasan keberagaman agama.

Kesimpulan

Paham Laicite merupakan landasan falsafah negara pertahanan nasional terhadap segala bentuk intervensi terhadap negara dan menjunjung hak kesetaraan dalam tatanan pemerintahan bernegara, yakni menghapus intervensi agama dalam menghapus ketimpangan terhadap tatanan hierarki pemerintahan negara. Namun, perkembangan dari paham Laicite mengalami tingkat keamanan yang terus merendah dan dapat dikatakan paham sekularisme tengah terancam di Perancis. Paham Laicite dianggap berbahaya akibat rendahnya tingkat kepercayaan dari masyarakat Perancis terhadap paham Laicite akibat konfrontasi dalam kebebasan dalam berekspresi bukan kebebasan dalam beragama bagi masyarakat Perancis dan tidak memberikan jaminan hak proteksi sosial berupa perlindungan terhadap umat minoritas di Perancis. Untuk itu, paham Laicite tengah terancam mengingat paham sekularisme yang diterapkan oleh Pemerintah Perancis cenderung merujuk terhadap sistem otoritarian.

Daftar Pustaka

Almeida, Dimitri. "Exclusionary secularism: the Front national and the reinvention of laïcité." Modern & Contemporary France (JSTOR) Vol. 25, No. 3 (2017): 249–263.

Asad, Talal. Trying to understand French secularism. New York: Fordham University Press, 2006.

Baubérot, Jean. "French Laicization in the Worldwide Context." Religious Studies Review (Religious Studies Review ) Vol. 1, No. 1 (2007): 74.

Cesari, Jocelyne. When Islam and Democracy Meet: Muslims in Europe and in the United States. New York: Palgrave Macmillan US, 2004.

Doyle, William. The French Revolution: A very short introduction. United States : Oxford University Press, 2001.

Gunn, T. Jeremy. "Religious freedom and laïcité: A comparison of the United States and France." BYU L. Rev., 2004: 419.

Istman Musaharun Pradiba. "Prancis, Sekularisme, dan Kehati-hatian Menangani Islam Radikal." Fokus Tempo. November 3, 2020. https://fokus.tempo.co/read/1401844/prancis-sekularisme-dan-kehati-hatian-menangani-islam-radikal (accessed November 29, 2020).

Jones, Nicky. "11 Religious Freedom in a Secular Society: The Case of the Islamic Headscarf in France." In Freedom of Religion under Bills of Rights, by Paul Babie, & Neville Rochow, 216-238. Adelaide: University of Adelaide Press, 2012.

Kuru, Ahmet T. "Secularism, state policies, and Muslims in Europe analyzing French exceptionalism." Comparative Politics (City University of New York) Vol. 41, No. 1 (2008): 1-19.

Ministère de l'Intérieur. "Second tour des élections législatives : les résultats." Élections législatives 2017. Juli 18, 2017. https://www.interieur.gouv.fr/Archives/Archives-elections/Elections-legislatives-2017/Second-tour-des-elections-legislatives-les-resultats (accessed November 29, 2020).

Modood, Tariq, and Rita Kastoryano. Secularism and Accomodation of Muslims in Europe Within Multiculturalism, Muslims, and Citizenship: A European Approach. Edited by Richard Zapata-Barrero, Anna Triandafyllidou Tariq Modood. London: Routledge, 2006.

Mudzakkir, Amin. "Sekularisme dan Identitas Muslim Eropa." Jurnal Kajian Wilayah (PSDR LIPI) Vol. 4, No. 1 (2013): 92-105.

Popkin, Jeremy D. A history of modern France. New York: Routledge, 2020.

Sénac, Réjane. "The Contemporary Conversation about the French Connection “Liberté, égalité, fraternité”: Neoliberal Equality and “Non-brothers”." French Journal of British Studies (CRECIB - Centre de recherche et d'études en civilisation britannique) 21 (2016): 1-19.

Statistics and Market Data on France: France Stastista. "Répartition de la population selon la religion en France en 2020." France Stastista. Mei 4, 2020. https://fr.statista.com/statistiques/472017/population-religion-france/#statisticContainer (accessed November 28, 2020).

Statistics and Marketing Data on France: French Statistia. "Opinion des Français sur le niveau de sécurité de la laïcité en France octobre 2020." Informations et statistiques sur la société. October 23, 2020. https://fr.statista.com/statistiques/609928/avis-francais-securite-laicite/ (accessed November 28, 28).

Susanto, Sauri. Dukungan european court of human right bagi pelarangan jilbab di sekolah, serta niqab dan burqa di Perancis. Skripsi, Jakarta: Repository Universitas Islam Negeri Jakarta, 2014.

Tarhan, Gulce. "Roots of the headscarf debate: Laicism and secularism in France and Turkey." Journal of Political Inquiry 4 (Semantic Scholar), 2011: 1-17.

Teulières, Laure. "Immigration and National Identity: Historiography Perspective in France." (Pisa University Press) 2007: 43-58.




Komentar

Postingan Populer