PERTARUNGAN PAHAM LAICITE (SEKULARISME) TERHADAP AGAMA DALAM PEMERINTAHAN MODERN PERANCIS
Abstrak
Perancis merupakan
negara yang dikenal memiliki tatanan pemerintahan negara yang modern dan
demokratis dalam menganut sistem pemerintahan semi-presidensial dan menganut
sistem multipartai yang berkontribusi aktif. Pemerintah Perancis menganut paham
Laicite atau yang disebut dengan sekularisme sebagai batas dari adanya
intervensi terkait agama dalam tatanan sistem pemerintahan negara. Dengan
menganut paham Laicite, Pemerintah Perancis turut melahirkan sebuah slogan
sebagai bentuk identitas nasional, yakni Liberte (Kebebasan), Egalite
(Kesetaraan), Fraternite (Persaudaraan) yang digunakan sebagai
landasan dasar dari kehidupan Pemerintah Perancis hingga saat ini. Penerapan
dari paham Laicite tidak terlepas dari adanya faktor pengaruh historis
melalui peristiwa Revolusi Perancis tahun 1789 yang pada saat itu kelompok
revolusi politik menuntut agar segera memisahkan keterlibatan kelompok gereja
katolik dalam persoalan politik sehingga sering menimbulkan konflik. Selain
itu, turut disebabkan pada saat Pemerintah Perancis mengalami kekurangan
kapasitas tenaga kerja pasca Perang Dunia II sehingga mendatangkan sejumlah
tenaga kerja imigran yang menyebabkan adanya konflik dalam pertukaran
keanekaragaman asimilasi kebudayaan melalui proses multikulturalisme. Untuk
itu, peristiwa Revolusi Perancis 1789 dan konflik multikulturalisme mendorong
perubahan pakta hukum dan konstitusi negara Perancis melalui keputusan Partai
Politik dalam Parlemen Perancis dengan mengeluarkan Undang-Undang 1905 terkait
pemisahan antara agama dan negara guna upaya menetralitas dan melindungi paham Laicite
negara Perancis. Seiring penerapan Laicite, turut menciptakan corak
demografi negara Perancis dari publik dan cendekiawan yang mendukung Pemerintah
Perancis melalui Undang-Undang Anti Jilbab 2004 untuk terus mensukseskan hak
perlindungan kebebasan ruang publik dari intervensi agama. Hingga pada
akhirnya, paham Laicite menuai kecaman dan konflik dari agama dan negara
lain atas sikap Pemerintah Perancis dalam kasus Islamophobia.
Kata Kunci: Sekularisme, Sensitivitas
Agama, Negara Perancis
Pendahuluan
Awal mula
kelahiran paham Laicite di Perancis diawali dengan peristiwa Revolusi
Perancis 1789 dengan maksud untuk meruntuhkan pemerintahan monarki absolut yang
dianggap melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan melalui tindakan
korupsi dan perampasan hak properti oleh kalangan kaum aristokrat. Bukan hanya
pemerintahan monarki absolut yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan,
melainkan kekuataan Gereja Katolik yang berkuasa dominan secara penuh turut
mencampuri urusan pemerintahan monarki untuk kepentingan melindungi hak
legitimasi pemerintahan monarki dalam melakukan penyelahgunaan kekuasaan dan
kewenangan yang dibalut dengan konteks keagamaan. Selain itu, melalui faktor
historis tersebut turut menciptakan urgensi pembentukan pakta hukum atas
pemisahan antara agama dan negara melalui penerapan paham Laicite.
Namun, pakta hukum terkait sekularisme tersebut berakhir dengan mendapatkan pengesahan
Rancangan Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait
pelarangan penggunaan simbol keagamaan seperti Jilbab, Niqab dan Burqa bagi
Islam, dan salib bagi Katolik, serta Kippa bagi Yahudi dalam ruang publik oleh
Dewan Konstitusi dan Pengadilan Tinggi Administratif atau Conseil d’Etat.
Melalui faktor pengaruh historis dan konstitusi yang mendorong paham Laicite tumbuh dan berkembang, sehingga mengakibatkan paham Laicite turut memberikan pengaruh terhadap penyusunan strategi parlemen dalam pelaksanaan hak konstitusional dan partai politik dalam agenda kampanye kepada publik. Tetapi melalui strategi yang dilakukan oleh parlemen dan partai politik turut mewarnai corak demografi masyarakat Perancis yang merasakan paham Laicite kian membatasi hak kebebasan dalam memeluk agama dan memicu konflik antara negara dengan masyarakat akibat pihak pemerintah Perancis menyudutkan salah satu pihak terkait kasus sensitivitas agama. Oleh karena itu, tingkat kepercayaan publik terhadap paham Laicite yang memberikan jaminan hak asasi manusia, justru melahirkan malapetaka yang berbalik arah kepada Pemerintah Perancis melalui pertarungan antara negara, agama dan paham Laicite yang mengundang kecaman dari pihak internasional.
Latar Historis Negara Perancis Berpaham Laicite
Lahir dan
berkembangnya paham Laicite yang merupakan landasan falsafah negara
Perancis, diawali melalui peristwa
pecahnya Revolusi Perancis pada tahun 1789. Pecahnya peristiwa Revolusi
Perancis tahun 1789 disebabkan oleh tuntutan dari masyarakat Perancis terhadap
pemerintahan monarki Perancis dan Gereja Katolik karena telah melakukan
perampasan dan intervensi terhadap hak asasi manusia melalui dominasi kekuatan
yang berlegitimasi dan mendapatkan perlindungan dari pihak Gereja Katolik.
Sebelum meletusnya peristiwa Revolusi Perancis tahun 1798, relasi kekuasaan
antara pemerintah monarki Perancis dan Gereja Katolik sangat menguat karena
kedua belah pihak tersebut merupakan aktor negara yang memegang penuh hak
legitimasi dan hak prioritas yang tinggi. Tetapi, kedudukan kekuasan pemerintah
monarki dan Gereja Katolik, jutsru disalahgunakan demi kepentingan pribadi dan
golongan dalam memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan merampas properti
nasional untuk kekayaan pribadi dan golongan, seperti perampasan hak tanah dan
mendapatkan hak istimewa atas pembebasan pajak upeti.
Tindakan
penyalahgunaan kedudukan kekuasaan oleh pemerintahan monarki dan Gereja Katolik
menimbulkan gelombang demonstrasi massa akibat masyarakat Perancis mengalami
ketimpangan dan kesenjangan sosial sehingga masyarakat Perancis menuntut untuk
segera melaksanakan revolusi agar segera melengserkan pemerintahan monarki
absolut yang selalu mendapatkan perlindungan legitimasi dari pihak Gereja
Katolik. Hingga pada akhirnya, terjadi pecahnya Revolusi Perancis melengserkan
pemerintah monarki absolut dengan mengubahnya menjadi sistem pemerintahan
demokrasi liberal dan mencetuskan adanya paham Laicite, yakni pemisahan
antara ruang publik dengan agama untuk mengindari penyalahgunaan legitimasi
dalam tatanan pemerintahan negara dan percampuran intervensi agama. Pasca
Revolusi Perancis dan memasuki kemerdekaan Republik Perancis, pada tahun 1790
hingga 1792 pasukan Perancis mengeluarkan kebijakan dan pakta hukum guna
mensukseskan paham Laicite untuk kepentingan melindungi hak publik dan
mengembalikan sejumlah properti pribadi yang dikuasai oleh pihak monarki dan
Gereja Katolik untuk segera dinasionalisasikan, yakni melalui ”Droit de
L’homme et du Citoyen” dan ”Civil Constitution of the Clergy” (Doyle 2001; Gunn 2004). Untuk itu, paham Laicite
merupakan hasil proses dari konfliktual yang melibatkan antara negara dan
kekuasaan Gereja Katolik yang direkonsiliasikan dengan perlahan
Selain faktor
pengaruh dari peristiwa Revolusi Perancis tahun 1789 yang memberikan dampak
berupa emansipasi pencerahan melalui pemisahan antara warga negara secara
individu dari intervensi keagamaan dan terdapat proses intergrasi warga negara
perseorangan untuk berbaur ke dalam komunitas politik
Melalui penerapan
kebijakan pintu terbuka terhadap imigrasi turut mengundang konflik rasialisme
yang menimbulkan konfrontasi antara penduduk asli Perancis dengan sejumlah
imigran akibat konflik multikultarisme. Melalui konflik rasialisme yang
melibatkan penduduk asli Perancis dengan sejumlah imigran mengundang perhatian
dari Presiden Republik Perancis ke-23 yang merupakan anggota perwakilan dari Partai
The Republicains, Nicholas Sarkozy. Sarkozy yang pada saat itu turut
berpihak terhadap penduduk asli Perancis, yakni menolak adanya pintu terbuka
terhadap imigran karena dapat menghambat perkembangan stabilitas kesejahteraan
sosial masyarakat Perancis. Untuk itu, Pemerintah Perancis terus menguatkan
paham Laicite sebagai landasan falsafah negara sebagai alat pertahanan
nasional terhadap segala bentuk intervensi terhadap negara dan menjunjung hak
kesetaraan dalam tatanan pemerintahan bernegara, yakni menghapus intervensi
agama dalam menghapus ketimpangan terhadap tatanan hierarki pemerintahan
negara.
Paham Laicite Dalam
Konstitusi Negara Perancis
Pada tahun 1879
melalui keputusan Partai Republik sebagai penguasa Parlemen Perancis
mengeluarkan suatu keputusan agar lebih memperkuat paham Laicite secara
nasional dan menghapus sisa peninggalan Gereja Katolik. Keputusan yang
dikeluarkan dan disahkan tersebut merupakan kebijakan anticlerical yang
bertujuan untuk mereformasi regulasi kurikulum pendidikan formal dengan
menghapus pembelajaran agama dan mengeluarkan peraturan pelarangan terhadap
aktivitas organisasi yang berorientasi keagamaan tertentu (Tarhan 2011; Kuru 2008). Hingga pada tahun 1902 dan
1905, paham Laicite kembali diperkuat dengan disahkan dan dituangkan ke
dalam peraturan perundang-undangan Separation Law 1905 yang mengatur
tentang pemisahan antara ruang publik (negara) dan agama untuk menghindarkan
intervensi nilai-nilai keagamaan dalam hak privatisasi dan asosiasi (Liogier
2009; Jones 2012). Kemudian, pada tahun 1946 dan 1958, Pemerintah Perancis
turut mengesahkan prinsip konstitusi dan konstitusional yang tertuang dalam
Pasal 1 Konstitusi Perancis 1958 yang berbunyi ”Bahwa Perancis akan menjadi
negara yang tidak pernah terpisahkan dari sekuler (Laicite), demokratis,
dan republik sosial”, prinsip konstitusional tersebut di dorong oleh kemauan
dari Republikan anticlerical militan, yakni Emile Combess dengan
menghapus hubungan antara Perancis dan Vatikan dalam menguatkan paham Laicite
yang secara eksplisit diatur dalam konstitusi (Baubérot 2007; Popkin 2020).
Hingga
pada tahun 1989, Pemerintah Perancis melalui Dewan Konstitusi Perancis dan
Pengadilan Tinggi Perancis (Coseil d’Etat) melalui legal opinion dan
legal principle untuk memperkuat lebih paham fundamental dari penerapan
doktrin Laicite dengan langkah mengeluarkan keputusan atas pelarangan
penggunaan Jilbab untuk remaja sekolah. Oleh karena itu, legal opinion dan legal
principle tersebut dikenal ”The 1989 legal opinion on anti headscarf” (Jones 2012). Namun, pasca peristiwa
Tragedi 9/11 World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat telah
memberikan luka traumatis yang mengakibatkan sejumlah negara-negara barat
terutama wilayah Eropa segera memperkuat pertahanan dan keamanan nasional dari
pengaruh isu-isu keagamaan hingga mengeluarkan sejumlah Undang-Undang (UU) dan legal
opinion untuk membatasi pengaruh agama dalam ruang privatisasi dan negara.
Pengaruh tersebut turut melanda Perancis pada tahun 2003 melalui pernyataan
Presiden Jacques Chirac atas pengeluaran keputusan pelarangan simbol dan
pengaruh nilai-nilai keagamaan dalam institusi dan kurikulum pendidikan dan
lingkungan publik (Susanto 2014). Pada
tahun 2004, Pemerintah Perancis dan Pengadilan Tinggi Administratif Perancis turut
mengeluarkan dan menerapkan kembali keputusan atas pelarangan penggunaan Jilbab
di lembaga pendidikan formal. Hingga pada akhirnya, pada 13 Juli 2010 Majelis
Nasional dan Dewan Konsitusi Perancis menyetujui, mengesahkan, dan
memberlakukan Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait pelarangan penggunaan
simbol keagamaan seperti Jilbab, Niqab dan Burqa bagi Islam, dan salib bagi
Katolik, serta Kippa bagi Yahudi dalam ruang publik yang diatur dalam peraturan
hukum konstitusi negara atau undang-undang
Terkait
dengan paham Laicite yang dipergunakan sebagai alat dalam mencegah
aktivitas jenis pelanggaran yang berbeda, yakni penyimpangan politik dari
intervensi kekuatan agama dan pembatasan agama oleh negara dan pembatasasan
atas kebebasan hak individu
Pengaruh Kekuatan
Paham Laicite Dalam Partai Politik Negara Perancis
Melalui program presidential
dan legislative elections pada tahun 2017, bahwa terdapat lima partai
politik yang unggul, yakni La Republique en Marche beraliran
liberalisme, Les Republicains beraliran liberal kosnservatif Gaullism, Front
National beraliran nasionalisme sayap kanan populisme, La France
Insoumise beraliran demokratik-sosialisme dan eco-sosialisme, Parti
Socialisme beraliran sosialis-demokrasi
Dari pemaparan
daftar partai politik yang mengungguli dalam program presidential dan
legislative elections pada tahun 2017, bahwa Partai Front National
memiliki strategi dalam merekonstruksi asumsi yang keliru terkait konstitusional
Perancis yang berlandaskan falsafah Laicite yang dianggap sebagai pembatasan
ekspresi religiusitas harus dalam ranah privat. Melalui pelaksanaan program
strategi perluasan paham Laicite, Partai Front National membangun
upaya dukungan terhadap perluasan kewajiban netralitas agama dalam lingkungan
publik, seperti rencana pelarangan simbol-simbol keagamaan yang mencolok dalam
fasilitas layanan publik
Pengaruh Paham Laicite
Dalam Corak Demografi Negara Perancis
Implementasi dari
paham Laicite yang tertuang dalam Undang-Undang Tahun 2010 terkait pelarangan penggunaan simbol keagamaan seperti
Jilbab, Niqab dan Burqa bagi Islam, dan salib bagi Katolik, serta Kippa bagi
Yahudi dalam ruang publik memberikan pengaruh erhadap perkembangan integrasi
sosial kemasyarakatan Perancis. Pelaksanaan implementasi dari paham Laicite telah
memberikan pengaruh besar secara universal terhadap demografi atas jumlah
keseluruhan populasi masyarakat Perancis. Melalui referensi data yang diperoleh
melalui Statistics and Market Data on France (France Stastista), bahwa
representasi grafis yang menunjukkan perkiraan distribusi jumlah populasi
masyarakat kristiani, muslim, Yahudi, Hindu, Buddha, dan tidak berafiliasi
dengan agama tertentu dalam tahun 2020. Dalam tabel representasi grafis
tersebut turut menunjukan bahwa terdapat 37.940.000 jumlah populasi masyarakat
kristiani, dan 20.830.000 jumlah populasi masyarakat tidak berafiliasi agama
tertentu, serta 5.430.000 jumlah populasi masyarakat muslim, lalu disusul
jumlah populasi masyarakat Yahudi sejumlah 340.000, jumlah populasi masyarakat
Hindu sejumlah 40, jumlah populasi masyarakat Buddha sejumlah 310.000, jumlah
populasi masyarakat Agama Populer sejumlah 250.000, dan kepercayaan lainnya
yang menyentuh angka 110.000.
Terkait
perkiraan distribusi jumlah populasi masyarakat dalam kepemelukan agama, bahwa
terlihat jumlah populasi dari umat kristiani yang menduduki peringkat pertama
sebagai agama mayoritas dan kemudian disusul oleh jumlah populasi masyarakat
tidak berafiliasi agama tertentu yang menduduki peringkat ketiga. Populasi
masyarakat tidak berafiliasi agama tertentu atau atheism masih terbilang
eksis, bilamana mengingat atheism di Perancis terlahir melalui peristiwa
Revolusi Perancis 1789 sebagai utusan agama yang diyakini tidak seburuk agama Kristen-Katolik
yang memberikan legitimasi berlebih terhadap pemerintah monarki sehingga
menciptakan kasus penyalahgunaan kekuasaan dan mengakibatkan pembatasan hak
jaminan kebebasan dan kesetaraan sipil. Lalu disusul oleh agama Islam yang
menduduki peringkat ketiga, kedudukan agama Islam yang menduduki peringkat
ketiga dikarenakan faktor kehadiran agama Islam akibat Pasca Perang Dunia Kedua
melalui kebijakan penerimaan imigran negara lain dan adanya proses reunifikasi
keluarga.
Melalui
referensi data terkait pendapat masyarakat Perancis tentang tingkat keamanan
prinsip Laicite atau sekularisme di Perancis pada Oktober 2020
menunjukan bahwa terdapat sekitar 90% responden menilai bahwa paham Laicite
mengalami tingkat keamanan yang rendah. Melalui pemaparan dari tabel statistik
berikut dapat dikatakan bahwa paham sekularisme tengah terancam hari ini di
Perancis dan paham Laicite dianggap tengah berada dalam situasi tingkat
keamanan yang berbahaya akibat rendahnya tingkat kepercayaan dari masyarakat
Perancis terhadap paham Laicite, berikut kebijakan yang diterapkan oleh
Pemerintah Perancis.
Pertarungan Antara
Negara, Agama dan Paham Laicite
Menurut
Mahmood dalam bukunya berjudul ”Religious Difference in A Secular Age: A
Minority Report”, ia memaparkan bahwa jaminan yang ditawarkan oleh paham
sekularisme, yakni perlindungan hak kebebasan dalam beragama dan hak kesetaraan
sipil, serta jaminan dalam penyelesaian sengketa konflik yang terjadi antara
kaum mayoritas dengan kaum minoritas tidak kunjung tewujud dan tidak menunjukan
titik terang atas apa yang diharapkan, melainkan melahirkan adanya ketimpangan
kekuatan kuasa antara negara, agama dan hak warga negara, serta konfrontasi
antara kaum mayoritas dengan kaum minoritas (2015). Apabila pemaparan argumen
Mahmood terkait paham sekularisme dapat menjadi landasan analisis terhadap
slogan identitas Perancis, yakni Liberte, Egalite, dan Fraternite yang
tercipta dari adanya paham Laicite. Makna dari slogan tersebut hanya
memberikan kebebasan dalam berekspresi bukan kebebasan dalam beragama bagi
masyarakat Perancis dan tidak memberikan jaminan hak proteksi sosial berupa
perlindungan terhadap umat minoritas di Perancis.
Isu-isu
yang berkembang terkait sensitivitas agama di Perancis tengah bergejolak,
mengingat kasus pembunuhan terhadap guru bernama Samuel Paty oleh seorang
remaja bernama Abdoullakh Abouyezidovitc terkait materi pembelajaran kebebasan
berpendapat dengan menggunakan ilustrasi karikatur Nabi Muhammad SAW dalam
Majalah Charlie Hebdo sebagai obyek dalam proses belajar mengajar di kelasnya
(Pradiba 2020). Kasus pembunuhan yang dialami oleh Samuel Paty mendapatkan
sorotan dari Presiden Emmanuel Macron yang menganggap bahwa ia berkomitmen kuat
untuk mengawal paham Laicite dengan melakukan pengawalan dan pengawasan ketat
terhadap beberapa fasilitas layanan keagamaan, seperti tempat ibadah dan
sekolah agama sebagai pencegahan upaya strategi Islam Radikal yang dirodai
dengan rasa kebencian terhadap kebebasan berpendapat dan menghambat stabilitas
keamanan nasional. Pernyataan Emmanuel Macron menimbulkan kontra dari beberapa
pihak yang menganggap pernyataannya menyudutkan dan menggeralisir Islam sebagai
agama radikal, sehingga memicu pertanda munculnya sikap Islamophobia dari pihak
Pemerintah Perancis (Pradiba 2020). Tetapi Pemerintah Perancis menganggap perlu
adanya peningkatan paham Laicite dengan program regulasi pencegahan
separatisme guna memproteksi perlindungan terhadap tempat ibadah dan proteksi
terhadap kebebasan keberagaman agama.
Kesimpulan
Paham Laicite
merupakan landasan falsafah negara pertahanan nasional terhadap segala bentuk
intervensi terhadap negara dan menjunjung hak kesetaraan dalam tatanan
pemerintahan bernegara, yakni menghapus intervensi agama dalam menghapus
ketimpangan terhadap tatanan hierarki pemerintahan negara. Namun, perkembangan
dari paham Laicite mengalami tingkat
keamanan yang terus merendah dan dapat dikatakan paham sekularisme tengah
terancam di Perancis. Paham Laicite dianggap berbahaya akibat rendahnya
tingkat kepercayaan dari masyarakat Perancis terhadap paham Laicite
akibat konfrontasi dalam kebebasan dalam berekspresi bukan kebebasan
dalam beragama bagi masyarakat Perancis dan tidak memberikan jaminan hak
proteksi sosial berupa perlindungan terhadap umat minoritas di Perancis. Untuk
itu, paham Laicite tengah terancam mengingat paham sekularisme yang diterapkan
oleh Pemerintah Perancis cenderung merujuk terhadap sistem otoritarian.
Daftar
Pustaka
Almeida, Dimitri.
"Exclusionary secularism: the Front national and the reinvention of
laïcité." Modern & Contemporary France (JSTOR) Vol. 25, No. 3
(2017): 249–263.
Asad, Talal. Trying
to understand French secularism. New York: Fordham University Press,
2006.
Baubérot, Jean.
"French Laicization in the Worldwide Context." Religious Studies
Review (Religious Studies Review ) Vol. 1, No. 1 (2007): 74.
Cesari, Jocelyne.
When Islam and Democracy Meet: Muslims in Europe and in the United States.
New York: Palgrave Macmillan US, 2004.
Doyle, William. The
French Revolution: A very short introduction. United States : Oxford
University Press, 2001.
Gunn, T. Jeremy.
"Religious freedom and laïcité: A comparison of the United States and
France." BYU L. Rev., 2004: 419.
Istman Musaharun
Pradiba. "Prancis, Sekularisme, dan Kehati-hatian Menangani Islam
Radikal." Fokus Tempo. November 3, 2020.
https://fokus.tempo.co/read/1401844/prancis-sekularisme-dan-kehati-hatian-menangani-islam-radikal
(accessed November 29, 2020).
Jones, Nicky.
"11 Religious Freedom in a Secular Society: The Case of the Islamic
Headscarf in France." In Freedom of Religion under Bills of Rights,
by Paul Babie, & Neville Rochow, 216-238. Adelaide: University of Adelaide
Press, 2012.
Kuru, Ahmet T.
"Secularism, state policies, and Muslims in Europe analyzing French
exceptionalism." Comparative Politics (City University of New
York) Vol. 41, No. 1 (2008): 1-19.
Ministère de
l'Intérieur. "Second tour des élections législatives : les
résultats." Élections législatives 2017. Juli 18, 2017.
https://www.interieur.gouv.fr/Archives/Archives-elections/Elections-legislatives-2017/Second-tour-des-elections-legislatives-les-resultats
(accessed November 29, 2020).
Modood, Tariq,
and Rita Kastoryano. Secularism and Accomodation of Muslims in Europe
Within Multiculturalism, Muslims, and Citizenship: A European Approach.
Edited by Richard Zapata-Barrero, Anna Triandafyllidou Tariq Modood. London:
Routledge, 2006.
Mudzakkir, Amin.
"Sekularisme dan Identitas Muslim Eropa." Jurnal Kajian Wilayah (PSDR LIPI) Vol. 4, No. 1 (2013): 92-105.
Popkin, Jeremy D.
A history of modern France. New York: Routledge, 2020.
Sénac, Réjane.
"The Contemporary Conversation about the French Connection “Liberté,
égalité, fraternité”: Neoliberal Equality and “Non-brothers”." French
Journal of British Studies (CRECIB - Centre de recherche et d'études en
civilisation britannique) 21 (2016): 1-19.
Statistics and
Market Data on France: France Stastista. "Répartition de la population selon la religion en France en
2020." France Stastista. Mei 4, 2020.
https://fr.statista.com/statistiques/472017/population-religion-france/#statisticContainer
(accessed November 28, 2020).
Statistics and
Marketing Data on France: French Statistia. "Opinion des Français sur le niveau de sécurité de la laïcité en
France octobre 2020." Informations et
statistiques sur la société. October 23,
2020. https://fr.statista.com/statistiques/609928/avis-francais-securite-laicite/
(accessed November 28, 28).
Susanto, Sauri. Dukungan
european court of human right bagi pelarangan jilbab di sekolah, serta niqab
dan burqa di Perancis. Skripsi, Jakarta: Repository Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2014.
Tarhan, Gulce.
"Roots of the headscarf debate: Laicism and secularism in France and
Turkey." Journal of Political Inquiry 4 (Semantic Scholar), 2011:
1-17.
Teulières, Laure.
"Immigration and National Identity: Historiography Perspective in
France." (Pisa University Press) 2007: 43-58.
Komentar
Posting Komentar