Perempuan Penyintas Tragedi 1965: Dari Politik Stigma ke Seks
Perempuan Penyintas Tragedi 1965:
Dari Politik Stigma ke Seks
Pasca
Gestok 1965 (Gerakan Satu Oktober), kondisi
pemerintahan Indonesia mengalami kehilangan keseimbangan akibat dari peristiwa
genosida yang merenggut ratusan hingga jutaan nyawa masyarakat sipil yang
diekseskusi oleh ABRI[1]. Bermula
saat ABRI melakukan operasi militer untuk menangkap beberapa masyarakat sipil
yang dianggap memiliki keterlibatan atas isu dewan jenderal, target dari
operasi militer tersebut adalah menangkap anggota dan simpatisan PKI[2]. Terlebihnya
lagi, bagian prinsip dari operasi militer yang dilakukan ABRI tersebut
menargetkan tubuh perempuan sebagai simbol politik seks. Untuk itu, ABRI
mengambil langkah manuver militer
dengan melakukan tindakan operasi militer untuk menghabisi lawan politiknya
salah satunya yaitu Gerwani.[3]
Pada
bagian pertama tulisan artikel ini, penulis ingin menjelaskan deskripsi
kronologi yang berangkat dari problematika perempuan Indonesia pada saat itu yang
sering mendapatkan diskriminasi dan ketidaksetaraan dalam ruang privat maupun
publik. Oleh karena itu, pergerakan Gerwani dianggap sebagai pergerakan yang berjalan
dengan sangat progresif dan persuasif dalam kampanye perlawanan dan memberikan
pendidikan emansipasi bagi perempuan Indonesia agar mampu menyuarakan hak
kesetaraan dalam ruang privat maupun publik.
Pada
bagian kedua tulisan artikel ini, juga tidak luput memberikan analisis terhadap
kronologis deskripsi pasca Gestok
1965 mengenai bagaimana peristiwa tindakan operasi militer ABRI turut menyeret
Gerwani dengan membuat spekulasi tuduhan terhadap Gerwani sebagai underbow dari PKI dan menjawab
konspirasi politik yang beredar, bahwasannya operasi militer ABRI ini memang sengaja
dilakukan untuk menghacurkan rival
politik ABRI.
Memasuki
Era Orde Baru periode 1965-1966 Orde Baru, korban yang diantaranya perempuan
tidak mendapatkan upaya proses kejelasan secara yuridis untuk mengetahui
keterlibatan korban yang tertuduh saat penangkapan operasi militer ABRI. Untuk
itu, pada bagian ketiga tulisan artikel ini berupa analisis mengenai bagaimana
suatu proses hukum justru tidak tampak dan tidak menjadi komponen bagian utama
guna mengusut tuntas pelaku dalam perkara isu dewan jenderal.
Selain
itu, bagian keempat artikel tulisan ini, turut memaparkan realitas pengalaman
yang dialami oleh perempuan menjalani semasa menjadi tahanan politik dalam
jeruji kamp penjara. Dalam laporan penelitian yang tercatat, bahwa perempuan mengalami
tindakan kekerasan, penyiksaan, perbudakan seksual, pemerkosaan, pengaborsiaan
bahkan pembunuhan.
Dengan
ketiadaan proses secara yuridis, pada bagian keempat artikel ini menganalisis
kejelasan dari operasi militer ABRI yang dianggap sebagai kejahatan genosida
berbasis gender, karena adanya bukti penyiksaan secara fisik dan pembunuhan
atas nama kelompok dan pemaksaan dalam proses penangkapan, penahanan dan hingga
mengalami kekerasan secara seksual terhadap perempuan yang dituduh sebagai
anggota Gerwani dan simpatisan PKI.
Hingga
pada saat rezim Orde Baru runtuh, tahanan politik perempuan yang disebut dengan
perempuan penyintas tragedi 1965 mendapatan tindakan diskriminasi dan politik
stigma selama berpuluh-puluh tahun. Sementara, upaya rekonsiliasi dengan
melakukan pelurusan sejarah pun selalu mengalami hambatan karena penolakan dari
berbagai pihak kelompok massa.
Kampanye Pergerakan Gerwani
Setelah
keputusan kongres II tahun 1954, Gerwis resmi berganti nama menjadi Gerwani.
Pergantian nama ini disebabkan karena organisasi memfokuskan tujuan kepada
sektor pengembangan emansipasi berupa hak kesetaraan sosial individu dan
pendidikan terhadap anak dan perempuan (McGregor 2012) . Awalnya Gerwani
hanya memiliki jumlah 500 anggota perempuan yang berlatarbelakang berpendidikan
dan sadar politik (S. E. Wieringa 1993) . Pada tahun 1955, pergerakan
Gerwani mencapai progress, dimana
jumlah anggota meningkat menjadi 400.000 anggota, hal ini dikarenakan
keantusiasan dan keinginan para perempuan untuk bisa merasakan emansipasi
wanita (S. E. Wieringa 1993) . Pada tahun 1956, Gerwani memiliki 565.147
anggota, disusul pada bulan Desember tahun 1957, Jumlah anggota Gerwani
mencapai 553.740 (Lestariningsih 2011) .
Mengingat
banyak kaum perempuan yang bekerja dalam sektor pertanian, perkebunan dan
pabrik, menyebabkan Gerwani menciptakan ketertarikan kaum perempuan dengan
kegiatan yang menyangkut 3 program perjuangan. Pertama, program penghapusan Peraturan Pemerintah mengenai
Perkawinan. Kedua, program pendampingan
bantuan hukum. Ketiga, program
membangun kesadaran politik terhadap perempuan.
Adanya
kebudayaan poligami menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap kaum perempuan,
apalagi didukung dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1952 yang
membenarkan poligami dengan memberikan tunjangan pensiun kepada pihak istri
pertama, kedua dan seterusnya (Sihombing 2016) . Alhasil, Gerwani geram dan langsung mengambil
sikap tegas dengan mengeluarkan program kampanye menuntut pemerintah untuk
mencabut PP[4]
tersebut, tetapi hal itu disambut antusias oleh Presiden Soekarno dengan
menyampaikan pesan kepada kaum perempuan untuk terus berjuang dalam mencapai
hak kesetaraan (Sihombing 2016) . Bahkan, rasa antusias Presiden
Soekarno kepada pergerakan kaum perempuan dituangkan dalam buku berjudul “Sarinah”.
Kebudayaan
patriarki yang masih mencengkram kaum perempuan menyebabkan kaum perempuan
masih terisolasi didalamnya. Cengkraman kebudayaan patriarki masih dialami kaum
perempuan dengan adanya perkawinan paksa, pernikahan usia dini, kekerasan
seksual, dan arbitrasi perceraian (S. E. Wieringa 1993) . Adanya hal ini,
Gerwani mengambil tindak tegas dengan memberikan program pelayanan bantuan
hukum dengan memberikan pendampingan hukum kepada korban dan mengkampanye-kan perjuangan
melawan kebudayaan patriarki dengan pendidikan feminisme.
Feminisme
dianggap sebagai alternatif pencapaian utama untuk memberantas kekuasaan kebudayaan
patriarki dan poligami. Feminisme dianggap mampu untuk mengedepankan
pengembangan pendidikan dan hak kesetaraan sosial individu kaum perempuan.
Karena pada dasarnya perempuan memiliki hak degorable
rights, yaitu hak mengenai hidup yang tidak dapat diganggu gugat dan
dikurangi oleh orang lain ataupun institusi sekalipun. ”women are born feminists and feminists create a balance in life. Women
must be assertive but at the same time they must be gentle (Bulbeck 2003) .”
Mengenai
pengembangan pendidikan, pada tahun 1955 Gerwani mengadakan kegiatan
pemberantasan buta huruf kepada kaum perempuan agar dapat memudahkan dalam pembelajaran
secara teknis kedepannya. Untuk itu, kegiatan ini memudahkan kaum perempuan
agar bisa turut serta dalam kegiatan kursus kader, dan kursus kader ini
memberikan pelayanan terhadap pelatihan menjadi pengajar dan diskusi buku–buku
dari Friedrich Engles, August Bebel, Clara Zetkin dan Presiden Soekarno sebagai
bentuk kesadaran edukasi politik (S. E. Wieringa 1999) .
Dalam
edukasi politik, Gerwani turut memberikan dukungan politik penuh kepada kaum
perempuan yang mencalonkan diri dalam kursi pemerintahan, contohnya pencalonan
perempuan dalam pemilihan jabatan sebagai lurah. Selain itu, Gerwani sering
bekerjasama dengan front perempuan dalam SOBSI[5]
dan BTI[6]
untuk melakukan kegiatan pawai dan demonstrasi massa untuk menuntut hak
kesetaraan dalam bekerja dan upah yang memadai (S. E. Wieringa 1999) . Selain itu, Gerwani
berafiliasi dalam politik pemerintah. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan
Presiden Soekarno yang menyatakan kekuatan melawan imperialis dan antek-antek
domestik (Hadiz 2006) . Alhasil, Gerwani
yang sejalan dengan misi melawan feudal-imperialis, akhirnya bergerak sebagai
sayap pendukung dalam menyongsong pemerintahan Presiden Soekarno.
Untuk
itu, Gerwani memiliki tugas yang berperan penting dalam pergerakan nasionalis
di tanah air. Gerwani berusaha untuk membangun semangat juang kepada perempuan
untuk mendapatkan hak-nya dalam berkehidupan. Gerwani juga memobilisasi massa
agar dapat mendukung dan mewujudkan cita-cita perempuan Indonesia untuk bisa
mendapatkan kursi partisipasi aktif dalam ruang perpolitikan dan pemerintahan.
Alhasil, beberapa dari anggota Gerwani ada yang memilih untuk tetap
berjuang memberdayakan perempuan melalui program edukasi dan ada
beberapa dari anggota Gerwani lainnya ikut turut dalam afiliasi dengan PKI
sebagai bentuk wujud partisipasi aktif perempuan di pemerintahan.
Pada
8 Maret 1964, Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia atau lebih dikenal Ganyang Malaysia, hal ini membuat pergerakan
Gerwani makin intesif terhadap politik pemerintah. Pemicu hal tersebut
dikarenakan kehidupan perpolitikan pemerintah Indonesia dalam kondisi tidak
stabil, sehingga mengakibatan organisasi apapun untuk mencari partner kerjasama dalam membangun
kekuatan kepentingan. Sehingga beberapa
anggota Gerwani mencari dukungan dari partai politik dan membuat sebagian
anggota Gerwani terjun ke dalam ranah perpolitikan. Perihal tersebut diperkuat dengan
pernyataan sidang Pleno oleh Umi Sardjono[7] (Nimat 2009) .
Berafiliasinya
beberapa anggota pimpinan Gerwani dengan PKI menimbulkan terpecahnya
konsentrasi misi Gerwani, meskipun anggota Gerwani pada tahun 1965 telah
mencapai 1,7 juta anggota (Nelson dan dkk 2007) tetapi beberapa
anggota Gerwani masih tetap memilih bertahan dalam program perjuangan
emansipasi kaum perempuan. Beberapa anggota Gerwani yang memilih bertahan dalam
program perjuangan emansipasi kaum perempuan dikarenakan menganggap
problematika mengenai pekerja perempuan dalam sektor pertanian dan pabrik
merupakan agenda pokok penting untuk diperjuangkan dibandingkan berkecimpung
dalam kepentingan politik atau berafiliasi dengan partai politik manapun (S. E. Wieringa 1993) .
Pusaran Gerwani Ditengah Kubu PKI
dan Manuver Militer ABRI
Kedekatan antara PKI dengan Presiden
Soekarno menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan bagi ABRI (Mortimer 2006) . Dapat diketahui, ABRI memiliki rival politik yang kuat dalam parlemen,
yaitu dengan PKI. PKI memiliki massa yang begitu banyak dari berbagai
organisasi pergerakan nasional, salah satunya Gerwani sebagai gerakan kaum
perempuan yang memiliki jumlah massa yang sangat banyak. Selain itu, dikarenakan
ABRI memiliki hubungan yang erat dengan Amerika Serikat dalam program pelatihan
kemiliteran (Hadiz 2006) , sehingga adanya
bentuk kerjasama ini dianggap sebagai bentuk tindakan mengkhianati misi Presiden
Soekarno dalam melawan feudal-imperialis.
Dukungan Presiden Soekarno terhadap
PKI lebih diperkuat dengan adanya kebijakan Presiden Soekarno yang melarang
terhadap seluruh media surat kabar untuk tidak memuat berita dengan label
anti-PKI (Ricklefs 2001) . Presiden Soekarno juga terlihat semakin
akrab karena kerap mendukung penuh terhadap pergerakan PKI, hal ini dibuktikan
bahwa Presiden Soekarno menghukum para perwira Angkatan Darat yang terlibat
telah membekukan kantor cabang dari PKI (Roosa 2008) .
Tiindakan Presiden Soekarno terhadap PKI sangatlah di beri ruang privilege, sehingga popularitas dari PKI
membuat ABRI merasa cemburu, apalagi diketahui bahwa PKI memiliki militan massa
yang luar biasa.
Hingga,
pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan Supersemar[8]
dan memberikan Jenderal Soeharto kepercayaan untuk memulihkan kembali situasi
dan kondisi keamanan negara. Sebelumnya, pasca Gestok dengan adanya pembunuhan ke-tujuh jenderal Lubang Buaya,
Jakarta Timur. ABRI langsung mengambil tindakan operasi militer dibawah komando
Jenderal Soeharto setelah diumumkan melalui radio RRI, melalui siaran pancar bahwa
G30S adalah gerakan kontrarevolusioner (Roosa 2008) .
Tetapi,
mandat Supersemar justru disalahgunakan oleh Jenderal Soeharto. Surat tersebut dipergunakan untuk langkah operasi militer
dengan tujuan mengorganisir habis dan membubarkan PKI serta organisasi yang
diduga berafiliasi dengan PKI. Hal
ini dianggap sebagai kudeta merangkak dikarenakan mandat Supersemar dijadikan
langkah alternatif operasi militer untuk mengambil alih kekuasaan melalui
tangan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayjen
Soeharto (Wardaya 2007) .
Alhasil, operasi militer yang
dilakukan pada 7 Oktober 1965 menyebabkan rumah penduduk masyarakat sipil yang
dituduh sebagai anggota dan berafiliasi dengan organisasi yang terlibat dengan
PKI dibakar, bahkan kantor cabang serta sekretariat PKI dibakar oleh ABRI beserta
kelompok-kelompok yang anti-komunis (Permata 2015) . Propaganda yang begitu persuasif
dengan label anti-komunis dan anti-PKI pun menyeruak ke seluruh penjuru negeri,
propaganda persuasif tersebut mengajak seluruh masyarakat sipil terutama
kelompok agamis pemuda ANSOR[9],
sayap kanan dari NU[10] agar
turut andil bersama ABRI dalam pembubaran dan pemusnahan PKI. Banyak dari
masyarakat sipil yang tertuduh atas keterlibatan dengan PKI diangkut dan ditangkap paksa oleh ABRI.
Salah satunya adalah Gerwani. Gerwani dianggap sebagai salah satu aktor yang
dituduh dalam pembunuhan ke-tujuh jenderal dan melakukan penyiksaaan dan
pelecehan seksual kepada ke-tujuh jenderal di Lubang Buaya.
Tirai Hitam Pengadilan Mahmilub
Pasca
penangkapan dan penahanan Gerwani yang dianggap dituduh dan terlibat sebagai
anggota dan underbouw (Gerwani) dari
PKI. Pada bulan November, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat
(Pangkostrad) Mayjen Soeharto meminta izin kepada Presiden Soekarno untuk
menghadirkan peradilan Mahmilub[11]
sebagai lembaga yang memeriksa dan mengadili secara khusus kepada para tahanan
melalui keputusan Keppres No. 370 Tahun 1965 (Gultom 2003) .
Adanya
keputusan Keppres, secara tidak langsung Mayjen Soeharto dapat leluasa berkuasa
dan mempercepat proses penangkapan dan penahanan. Pengadilan Mahmilub bahkan tidak
menerima banding dari anggota Gerwani dan masyarakat sipil yang dituduh
terlibat. Keputusan Mahmilub hanya mengeluarkan keputusan bersalah terhadap para tahanan yang ditangkap tanpa
melalui proses penyelidikan kasus atas keterlibatan terhadap pembunuhan ke-tujuh jenderal dan isu
Dewan Jenderal. Pengadilan Mahmilub mengeluarkan keputusan vonis bersalah
kepada Gerwani karena dianggap telah melakukan penyiksaan seksual, mencungkil
mata dan pengebirian kepada ke-tujuh Jenderal.
Pengadilan
Mahmilub 1965 dianggap sebagai lembaga peradilan yang menyalagunakan nilai
yuridis sebagai kepentingan politik. Pengadilan Mahmilub 1965 merupakan noda
hitam dalam ukiran sejarah pengadilan yang ada, karena kaum perempuan mendapatkan perlakuan
ekstrimis dalam proses penangkapan dan penahanan oleh ABRI, bahkan dalam meja
hijau pun mereka hanya mendapatkan proses prosedur hukum yang tidak begitu
jelas.
Dari Balik Jeruji, Kami Boneka Seks
Pada
tanggal 22 Juli 1966, di akhir masa kekuasaan Presiden Soekarno sebelum turun
dari kursi kekuasaannya. Presiden Soekarno dihadapkan oleh gelombang massa
mahasiswa agar mengundurkan diri sebagai Presiden karena tidak mampu mengatasi
inflasi ekonomi yang melambung tinggi dan gagal dalam memakzulkan pejabat pemerintahan
yang terlibat dengan PKI. Untuk itu, Presiden Soekarno resmi turun dari kursi
pemerintahannya dan digantikan oleh Mayjen Soeharto. Maka, dimulai-lah kekuasaan
pemerintahan rezim Orde Baru.
Ketika
Mayjen Soeharto telah sepenuhnya berkuasa secara legitimasi sebagai Presiden.
Soeharto meminta untuk tetap menangkap dan menahan oknum yang terlibat dengan
PKI. Gerwani yang salah satunya menjadi organisasi yang menjadi target
penangkapan dari operasi militer ABRI. Perempuan-perempuan anggota Gerwani yang
tertangkap akibat operasi militer ABRI harus mendekam dalam kamp. Dalam balik
jeruji besi kamp tahanan, perempuan-perempuan anggota Gerwani mendapatkan
perlakuan kekerasan verbal dan seksual
dari sekawanan ABRI.
Dalam
masa tahanan, perempuan-perempuan tersebut mendapatkan perlakuan seksual dengan
sewenang-wenang oleh sekawanan ABRI. Diantara dari mereka dijadikan sebagai
alat pemuas hasrat seksual oleh sekawanan ABRI di dalam kamp tersebut. Dalam
laporan Komnas Perempuan (Nelson dan dkk 2007) menyatakan dalam
laporan penelitiannya bahwa menemukan adanya tindakan persekusi yang tidak
lazim, seperti penelanjangan, penyiksaan, pemerkosaan, pengaborsiaan, perbudakan
seksual hingga mengakibatkan kematian akibat penyiksaan yang dilakukan aparat
keamanan (ABRI) secara bertubi-tubi tanpa henti.
Dalam
kasus persekusi massa, perempuan-perempuan dipaksa untuk ditelanjangi dan
setelah itu dipaksa untuk menari didepan sekawanan ABRI, bahkan para sekawanan
ABRI meraba-raba tubuh dan menyentuh
bagian alat-alat vital dengan berdalih untuk mencari tato “palu arit” di tubuh.
Perempuan-perempuan tersebut juga dipaksa berdiri selama berjam-jam dalam
keadaan tanpa busana untuk menghibur aparat kemanan dan ABRI dalam kamp
tahanan.
Dalam
kasus penyiksaan pun, perempuan-perempuan tersebut seluruhnya mengalami
penyiksaan sampai mengakibatkan luka lebam setelah proses interogasi dalam kamp
tahanan. Dalam laporan genocide journal
dari Annie Pohlman (2017) menceritakan bahwa diantara perempuan-perempuan
tersebut ada yang mengalami bentuk penyiksaan seperti ditendang, dipukul dan disentrum
listrik setelah itu mereka dibiarkan dengan cara diikat selama tiga hari tanpa
makan dan minum.
Dalam
kasus pemerkosaan, perempuan-perempuan diperlakukan dengan cara digiring oleh
aparat keamanan (ABRI) dalam kamp tahanan, setelah itu dibawa ke ruang markas
untuk di perkosa beramai-ramai, Pemerkosaan ini dilakukan setiap waktu hingga
digiring ke lokasi markas manapun. Pemerkosaan ini dilakukan dengan menyiksa
perempuan secara kejut setrum listrik kepada bagian-bagian tubuh vital seperti
payudara dan vagina.
Alhasil,
dari tindakan pemerkosaan yang dilakukan mengakibatkan sejumlah perempuan
mengalami kehamilan. Kehamilan yang tidak diinginkan ini mengharuskan untuk
melakukan pengaborsiaan. Pengaborisaan ini dilakukan oleh bidan yang sengaja
disediakan di barak kamp tahanan oleh aparat keamanan tahanan (ABRI) untuk
menggugurkan kandungan (Pohlman 2013). Akibat dari tindakan pengaborsiaan ini,
banyak perempuan yang mengalami physical
traumatized dan pendarahan hebat
sehingga banyak yang meninggal dunia dalam kamp tahanan. Bukan hanya
pengaborsiaan saja, banyak perempuan yang mengalami keguguran karena mengalami tindakan
kekerasan fisik seperti pemerkosaan dari aparat keamanan (ABRI) secara
ditendang dan diinjak kandungannya.
Dalam
kasus pengeksploitasiaan seksual, perempuan-perempuan dalam kamp tahanan
diperlakukan seperti boneka seks. Perempuan-perempuan tersebut mengalami
tindakan pemerkosaan secara berulang kali oleh aparat keamanan (ABRI) kamp
tahanan. perbudakan seksual ini dilakukan setiap waktu dan dilakukan dilokasi
manapun sesuai permintaan penguasa militer (Nelson dan dkk 2007) . Kasus perbudakan
seksual mengakibatkan banyak perempuan mengalami kehamilan sehingga dipaksa
oleh aparat keamanan (ABRI) untuk melakukan pengaborsiaan janin kandungan yang
tidak diinginkan.
Genosida Berbasis Jender Rezim Orde
Baru
Operasi
militer ABRI yang telah melayangkan nyawa sejumlah 500.000 hingga 1.000.000 masyarakat
sipil terbunuh (Schaefer dan Wardaya 2013; McGregor dan Pohlman 2017) yang
diantaranya adalah anak-anak, laki-laki dan perempuan yang menjadi korban
dikarenakan tuduhan terlibat dalam organisasi pergerakan yang berafiliasi
dengan PKI. Tragedi operasi militer ABRI yang menargetkan tubuh perempuan
sebagai alat politik seksual telah mengindikasikan bahwa hal tersebut merupakan
dasar peristiwa genosida berbasis jender.
Dalam tulisan the concept of genocide journal, bahwa genosida merupakan tindakan yang
dilakukan dengan cara menghancurkan seluruh atau bagian dari suatu bangsa,
etnis, ras dan kelompok agama dengan cara membunuh, melakukan kekerasan fisik
sehingga korban mengalami luka fisik, membawa perubahan kondisi yang hancur
terhadap fisik suatu kelompok, mencegah adanya kelahiran terhadap suatu
kelompok, dan memaksa anak-anak untuk berpindah dan masuk ke dalam kelompok
lain (Boghossian 2010) .
Melalui
tragedi operasi militer ABRI bahwa adanya penangkapan paksa, penahanan tanpa
melalui proses yuridis, mengalami tindakan melukai secara fisik dengan cara
memperkosa, menolak adanya kelahiran dengan cara pengaborsiaan, perbudakan
seksual hingga membunuh dengan berbagai bentuk eksekusi mati. Hal ini menyebabkan
banyaknya perempuan-perempuan menjadi korban dari operasi militer ABRI. Tragedi
operasi militer pun patut dijadikan
sebagai peristiwa pembunuhan massal (genosida) berbasis jender karena banyaknya
perempuan-perempuan yang dijadikan target alat politik seks dari operasi
militer ABRI.
Untuk
itu, operasi militer ABRI melahirkan bentuk kejahatan genosida berbasis jender,
hingga diperkuat dengan adanya suatu bentuk nyata perihal peristiwa persekusi
dengan menargetkan tubuh kaum perempuan sebagai alat politik seks dengan
perspektif tuduhan identitas politik sebagai komunis dan jender yaitu kepada
seluruh perempuan yang dianggap sebagai bagian dari anggota Gerwani yang
dituduh melakukan pelecehan sambil menari tari Harum Bunga[12]
dan pengebirian kepada tujuh jenderal (Nelson dan dkk 2007) .
Genosida
1965-1966 bukan hanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan melakukan
pembunuhan massal berbasis jender, melainkan merupakan salah satu perubahan secara
sosial-budaya bagi rezim Orde Baru karena telah mampu mengubah pandangan secara
konstruksi sosial dengan membuat masyarakat sipil bersikap alergi dan menolak
penuh terhadap hal-hal yang berbau komunis. Selain itu, genosida 1965-1966 juga
merubah konsepsi pandangan ideologis politik dengan adanya pelenyapan tiga
aliran ideologis yaitu nasionalis, agamis dan komunis yang sebelumnya sangat mendominasi
sejak abad awal ke-20 dalam ranah perpolitikan tanah air (Cribb 2001) .
Reformasi: Politik Stigma Masih
Melekat
Pada bulan Oktober 1999 Presiden
Abdurahhman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia setelah jatuhnya
Presiden Soeharto selama 32 tahun menjabat. Kepimpinan dari Presiden
Abdurahhman Wahid yang akrab disapa dengan Gus Dur mengingat kepada
kebijakannya yang kontroversial pada bulan Maret 2020, dimana Presiden Gus Dur
membahas mengenai isu 1965. Keterbukaannya terhadap isu 1965 ini membuat Gus
Dur mengeluarkan abolisi dengan menghapus kebijakan negara yang mengkriminalisasikan
mantan tahanan politik 1965 dengan memberikan pemulihan hukum hak-hak sipil
mantan tahanan politik dan keluarga bersangkutan yang dituduh terlibat dengan
PKI (Dwyer dan Santikarma 2003) .
Perempuan-perempuan
yang mendapatkan pemulihan nama baik secara hukum merasakan suka cita luar
biasa. Mereka (perempuan-perempuan mantan tahanan politik dan keluarga yang
bersangkutan) tidak perlu lagi melakukan wajib lapor setiap bulan kepada aparat
keamanan (ABRI) dan pemerintah tidak memberlakukan kembali kartu identitas
khusus[13],
selain itu pihak keluarga yang bersangkutan dan keturunannya pun dapat memiliki
hak untuk mendapatkan posisi dalam pendidikan dan pemerintahan (Dwyer dan Santikarma 2003) .
Tetapi kebijakan pemulihan hukum
hak-hak sipil mantan tahanan politik tragedi 1965 dan keluarga yang
bersangkutan tidak bertahan lama. Semasa kepimpinan Presiden Joko Widodo
pemulihan hukum hak sipil tersebut terkubur kembali. Dimasa kekuasaannya, timbul
kembali bentuk pandangan konstruksi sosial-budaya, yaitu phobia terhadap komunis. Adanya konstruksi sosial-budaya semacam
itu kembali, perempuan-perempuan penyintas 1965 pun merasakan diskriminasi
kembali dari lingkungan masyarakat. Diskriminasi tersebut timbul dikarenakan
adanya pemutaran kembali film pemberontakan G30S/PKI.
Setiap bulan September, berbagai
media televisi menampilkan tayangan pemutaran kembali film propaganda rezim
Orde Baru, G30S/PKI. Tujuan pemutaran film G30S/PKI dianggap media pembelajaran
sejarah tetapi itu hanya dalih pemerintah saja, karena secara realitas pemerintah
ingin membentuk kembali konstruksi sosial phobia
terhadap hal yang berbau komunis. Pemutaran film tersebut merupakan bagian
rencana pemerintah dalam melawan kelompok anti-Presiden Joko Widodo yang dituduh
sebagai keturunan PKI. Dan pemutaran film ini dianggap sebagai kampanye
pendukungan terhadap Presiden Joko Widodo.
Dalam
scene G30S/PKI menampilkan sejumlah
perempuan-perempuan Gerwani yang sedang menari-nari dan melakukan pelecehan
seksual kepada ke-tujuh jenderal. Alhasil, adanya Pemutaran film ini mengundang
dan memicu kontra oleh sejumlah Non
Governmental Organization yang menangani kasus tragedi 1965 seperti Komnas
Perempuan, YLBHI (Yayasan Lembaga Hukum Indonesia) dan Amnesty International
Indonesia dikarenakan makin memperkeruh kultur impunitas bahkan berpotensi memicu
trauma dan pembentukan sikap dendam serta melakukan stigmatisasi terhadap perempuan
penyintas 1965[14]
(Halim 2017) .
Sementara itu, dalam hal upaya rekonsiliasi pelurusan sejarah pun selalu
mengalami hambatan karena adanya penolakan berbagai pihak kelompok dengan cara
mempersekusi perempuan penyintas 1965 sebagai penjagal alat kelamin jenderal
dan pelacur PKI dan menganggap upaya rekonsiliasi tersebut merupakan bagian
dari reuni anggota dan simpatisan PKI.
Kesimpulan
Tragedi
sejarah genosida 1965 yang meninggalkan memoar luka mendalam dan traumatis bagi
cerita sejarah kehidupan perempuan Indonesia. Awalnya pergerakan kaum perempuan
yang berjuang untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan setanah air demi
kepentingan kesejahteraan kaum perempuan untuk mencapai hak kesetaraan dan
mendapatkan pendidikan emansipasi, justru harus menelan pil pahit hidup setelah
berjuang mendedikasikan diri untuk berbakti kepada tanah air.
Gerwani yang berjuang bersama tanah
air harus menaggalkan harga dirinya dan nyawanya karena difitnah dan dianggap
terlibat terhadap pembunuhan ke-tujuh jenderal di Lubang Buaya. Gerwani
difitnah atas melakukan pelecehan seksual, menari tarian erotis dan pengebirian
terhadap ke-tujuh jenderal. Di balik jeruji besi tahanan, para perempuan anggota
Gerwani harus melayani setiap waktu nafsu biadab aparat keamanan (ABRI) dengan
cara digilir bersama-sama. Diperlakukan sebagai budak seksual, disiksa secara
seksual dan dibunuh dengan cara keji.
Pembunuhan massal atau genosida
berbasis jender ini merupakan peristiwa terkutuk yang pernah ada dalam sejarah
kemanusiaan, hingga sampai saat ini, rezim reformasi gagal untuk melakukan
upaya rekonsiliasi dengan melakukan pemulihan hukum hak-hak sipil karena selalu
mendapatkan hambatan dan kesulitan. Perempuan penyintas 1965 (Gerwani) hingga
kini, selalu dijadikan alat politik seks dan politik stigma bagi masyarakat
publik. Selalu digiring dengan opini negatif bahwa perempuan penyintas 1965
merupakan penjagal alat kelamin jenderal dan pelacur PKI.
Daftar Pustaka
Boghossian, Paul. “The concept of genocide.” Journal
of Genocide Research (Routledge ) Vol. 12, no. 1-2 (2010): 69-80.
Bulbeck,
Chilla. “I Wish to Become The Leader of Women and Give Them Equal Rights in
Society: How Young Australians and Asians Understand Feminism and the Women’s
Movement.” Journal of Interdisciplinary Gender Studies
(newcastle.edu.au) Vol. 7, no. 1-2 (2003): 4-25.
Cribb,
Robert. “Genocide in Indonesia,1965‐1966.” Journal of
Genocide Research (Routledge), 2001: 219-239.
Dwyer,
dan Degung Santikarma. ““When the World Turned to Chaos” 1965 and Its
Aftermath in Bali, Indonesia.” Dalam The Specter of Genocide: Mass Murder
in Historical Perspective, disunting oleh Ben Kiernan Gellately, 303-352.
Cambridge University Press, 2003.
Gultom,
Samuel. Mengadili Korban, Praktek Pembenaran terhadap Kekerasan Negara.
Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2003.
Hadiz,
Vedi R. “The Left and Indonesia’s 1960s: the politics of remembering and
forgetting.” Inter-Asia Cultural Studies (Routledge) Vol. 7, no. 4
(2006): 554-569.
Halim,
Haeril. pembela HAM, Penyintas 65 menjadi korban aksi kekerasan kelompok
anti-komunis. Jakarta: Amnesty International Indonesia , 18
September 2017.
Haryanto,
Ignatius. Kejahatan Negara: Telaah tentang Penerapan Delik Keamanan Negara.
Jakarta: ELSAM, 1999.
Irza,
Kriswantoni. “Gerwani Dalam Pergulatan Ideologi Komunis 1950-1965.” Jurnal
Sejarah, Pendidikan Dan Humaniora Vol. 3, no. 1 (2019): 10-20.
Lestariningsih,
Dwi. Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan. Jakarta: Buku
Kompas, 2011.
McGregor,
Jess Melvin, dan Annie Pohlman. The Indonesian genocide of 1965: Causes,
dynamics and legacies. Palgrave mcmillan, 2017.
McGregor,
Katharine. “Indonesian Women, The Women’s International Democratic Federation
and The Struggle For ‘Women's right’, 1946 –1965.” McGregor, K. (2012).
INDONESIAN WOMEN, THE WOMEN’S INTERNATIONAL DEMOCRATIC FEDERATION AND THE
STRUGGLE FOR “WOMEN”S RIGHTS’, Indonesia and the Malay World (Routledge )
Vol. 40, no. 117 (2012): 193-208.
Mortimer, Rex. Indonesian Communism Under Sukarno
Ideology and Politics, 1959-1965. Equinox Publisher, 2006.
Nelson,
Sawitri, dan Rina dkk. Laporan Pemantauan HAM Perempuan: Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan Berbasis Jender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa
1965. Jakarta: Komnas Perempuan, 2007.
Nimat,
Magdalena. Gerakan Perempuan di Indonesia Periode 1950-1965 Studi Kasus
Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Thesis, Departemen Sejarah,
Universitas Sanata Dharma , Repository Sanata Dharma, 2009.
Permata,
Harsa. “Gerakan 30 September 1965 Dalam Perspektif Filsafat Sejarah Marxisme.”
Jurnal Filsafat (jurnal.ugm.ac.id) Vol. 25, no. 2 (2015).
Pohlman,
Annie. “Child-raising, Childbirth and Abortion In Extremis: Women’s Stories of
Caring for and Losing Children during the Violence of 1965-1966 in Indonesia.”
Journal of Current Southeast Asian Affairs (GIGA German Institute of
Global and Area Studies, Institute of Asian Studies and Hamburg University
Press) Vol. 32, no. 3 (2013): 93–114.
Pohlman,
Annie. “Sexual Violence as Torture: Crimes against Humanity during the 1965–66
Killings in Indonesia.” Journal of Genocide Research ( Informa UK
Limited, trading as Taylor & Francis ) Vol. 19, no. 4 (2017): 574-593.
Ricklefs,
M.C. A History Of Modern Indonesia Since C. 1200. Palgrave, 2001.
Roosa,
John. Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto.
Dialihbahasakan oleh Hesri Setiawan. Jakarta: Institut Sejarah Sosial
Indonesia dan Hasta Mitra, 2008.
Schaefer,
dan Baskara Wardaya. 1965: Indonesia and The World. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2013.
Sihombing,
Merduwati. “Gerakan Wanita Menolak Poligami 1953-1974, : Kasus Pernikahan
Kedua Sukarno.” Journal Pendidikan Sejarah (e-jurnal mahasiswaunesa)
Vol. 4, no. 1 (2016).
Triyana,
Bonnie. Nobar Film Pengkhianatan G30S/PKI untuk Generasi Muda yang Mana? .
Historia . Jakarta, t.thn.
Wardaya,
B, T. Membongkar Supersemar, dari CIA Hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung
Karno. Yogyakarta: Galangpress, 2007.
Wieringa,
Saskia E. “Two Indonesian women's organizations: Gerwani and the PKK.” Bulletin
of Concerned Asian Scholars Vol. 25, no. 2 (1993): 17-30.
Wieringa,
Saskia Eleanor. “KUNTILANAK WANGI: Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia
Sesudah 1950.” Oleh Saskia Eleanor Wieringa, dialihbahasakan oleh Hersri
Setiawan, 8-19. Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan, 1999.
[1] ABRI adalah singkatan dari Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia. Sebelum tahun 1962 ABRI dikenal dengan nama
APRI yang merupakan gabungan dari Tentara Nasional Indonesia dan KNIL
[2] PKI adalah singkatan dari Partai
Komunis Indonesia. Pada tanggal 23 Mei 1914 PKI dikenal dengan nama ISDV yang
digagas oleh kelompok sosialis dari Belanda, salah satunya bernama Henk
Sneevliet
[3] Gerwani adalah singkatan dari Gerakan
Wanita Indonesia. Pada tahun 1954 sesuai keputusan kongres II Gerwis sepakat
untuk mengganti nama organisasi menjadi Gerwani yang berfokus pada emansipasi
kaum perempuan
[4]
PP adalah singkatan dari Peraturan
Pemerintah. Namun, pada tahun 1973 pemerintah mencabut dan menggantikan Peraturan Pemerintah No 19
Tahun 1952 dengan RUU Perkawinan yang terdiri dari 67 pasal dengan proses bertahun-tahun
dalam penyusunnya RUU tersebut berisi hak kesetaraan gender dan hukum bagi
kaum perempuan
[5] Pada tanggal 29 November 1946,
kelompok persatuan buruh Indonesia membentuk federasi serikat buruh sebagai
konstitusi organisasi perjuangan kaum buruh Indonesia yaitu SOBSI (serikat
organisasi buruh seluruh Indonesia)
[6] Pada tanggal 25 November 1945, kelompok persatuan tani
Indonesia membentuk federasi serikat tani sebagai konstitusi organisasi
perjuangan land reform yaitu BTI (Barisan
Tani Indonesia)
[7] Umi Sardjono, perempuan kelahiran
kota Semarang pada tanggal 24 Desember 1923 merupakan aktivis perempuan dan
pejuang revolusi Indonesia. Umi Sardjono merupakan petinggi dan ketua umum
dewan pimpinan pusat gerwani
[8] Pada tanggal 12 Maret 1966. Presiden
Soekarno mengeluarkan mandat Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) sesuai
keputusan Presiden No.1/3/1966 dan diteken pada pukul 04.00 wib kepada
Jenderal Soeharto. Isi supersemar tersebut memuat untuk memulihkan kembali
situasi dan kondisi keamanan negara tetapi dalam manifestasinya justru
Jenderal Soeharto bersama pasukan divisi batalyon dalam ABRI menggunakan
Supersemar sebagai langkah operasi militer untuk mengorganisir habis dan
membubarkan PKI beserta underbouw
yang turut dianggap terlibat dengan PKI.
[9] Organisasi kemasyarakatan pemuda islam
yang merupakan berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama. gerakan pemuda Ansor
didirkan pada tanggal 24 April 1934 yang bertujuan untuk memberikan pendidikan
agama dan pembinaan sebagai kader. GP Ansor merupakan gerakan kepemudaan
agamis yang memiliki berkembangan cukup signifikan hingga saat ini
[10] Nahdlatul Ulama adalah organisasi
kemasyarakatan yang bergerak dalam keagamaan dan pendidikan. NU didirkan pada
tanggal 31 Januari 1926. Pada masa kolonial NU merupakan organisasi besar di
Indonesia karena yang memiliki jumlah massa terbesar. Pendirian dari NU juga
disebabkan karena faktor untuk membangun kesadaran politik masyarakat
Indonesia saat itu.
[11] Mahmilub
merupakan mahkamah Militer Luar Biasa. Lembaga peradilan khusus ini beridir
sejak tahun 1963 sesuai dengan keputusan Penpres No. 16 Tahun 1963. Lembaga
peradilan khusus ini pertama kali untuk mengadili terhadap kasus Dr. Soumokil.
[12] Dalam liputan koran Berita Yudha milik ABRI bahwa Gerwani
dituduh melakukan Tarian Harum Bunga
didepan Ke-tujuh jenderal di Lubang Buaya saat pengesekusian dengan menari
telanjang. Liputan berita tersebut pun menjabarkan dengan bukti yang tidak
valid adanya. Dengan adanya liputan berita semacam tersebut, muncul sejumlah
perempuan yang sengaja didatangkan oleh oknum aparat keamanan (ABRI) untuk menyebar
fitnah agar mengaku sebagai bagian dari anggota Gerwani dan membenarkan
melakukan tarian Harum Bunga tersebut
[13]. Kartu identitas khusus ini diperuntukan
untuk masyarakat sipil yang pernah menjadi tahanan politik tahun 1965.
Kegunaan dari kartu identitas khusus ini untuk mempermudah melihat status
individu mengenai keterlibatannya sebagai mantan anggota PKI dan organisasi
yang berafiliasi dengan PKI
Komentar
Posting Komentar